Monday, August 27, 2012

Diary Lilia

Pagi ini suhu udara terasa sangat dingin menembus dan menusuk pori-pori kulit yang putih pucat dari gadis manis lima belas tahun itu. Namun dinginnya pagi dilupakan olehnya, Lilia yang telah tiba di sekolahnya untuk belajar seperti biasa. Dengan senyumnya yang bak peri itu ia membuka pintu kiri belakang mobil Honda Jazz birunya.
     “Terima kasih Pak Hasan, bapak sudah setia mengantarkan aku dan Dirga ke sekolah tiap hari,”ucap Lilia kepada pak supirnya sembari melirik kearah Dirga yang duduk di sampingnya.
     Teman laki-laki Lilia ini sudah bisa dikatakan sebagai sahabat terdekatnya sejak kecil.
Walaupun Lilia adalah anak tunggal dari sepasang suami istri yang penuh harta, ia tidak pernah memandang dengan sebelah mata seorang Dirga yang sudah tak berorangtua dan hanya diasuh oleh paman Dirga, Om Husen yang berkeadaan pas-pasan. Karena kedekatannya dengan Dirga, teman sekolah Lilia sering mengartikan mereka sebagai sepasang kekasih. Tak heran, karena keduanya memiliki penampilan fisik yang nyaris sempurna. “Iya sama-sama Mbak Lilia. Walaupun mbak juragan saya, mbak tidak pernah semena-mena pada saya sebagai supir. Sekali lagi terima kasih juga mbak Lilia,” jawab Pak Hasan.
     Namun entah mengapa Dirga yang dari tadi diam membisu kini heran memperhatikan Lilia dan Pak Hasan. Dirga melihat guratan penuh kesedihan dan perih di wajah 50 tahun Pak Hasan saat melontarkan kata itu pada Lilia. Sikap Pak Hasan ini sangat kontras dengan Lilia yang dari tadi tersenyum saja.
     “Hei, ayo Dirga! Jangan diam saja. Nanti pintu gerbang sekolah bakal ditutup kalau kamu keenakan di sini,” kata Lilia
Pandangan matanya tertuju pada gerbang sekolah bercat abu-abi itu. Lilia menyambar tangan kiri Dirga dan menyeret Dirga masuk ke area sekolah. Dirga tetap diam seperti anak yang sedang dituntun ibunya.
     Lilia dan Dirga masuk ke ruangan kelas mereka, kelas X-2 yang berwarna krem itu. Mereka duduk bersebelahan. Saat pelajaran berlangsung, Dirga memperhatikan Lilia yang sedang menuliskan sesuatu di buku diary ungunya, namun ia tak mau membaca apa yang ditulis Lilia. Itu rahasia Lilia, pikirnya dalam hati. Terlintas dalam benak Dirga bagaimana cara untuk menyatakan rasa sayang yang selama ini telah lama ia pendam pada Lilia.
     “Uh, capek Ga,” kelu Lilia yang telah menutup diary-nya itu.
     Lilia terlihat semakin pucat pasi. Keringat mengucur deras dari dahinya. Aneh. Karena hari ini sangat dingin namun Lilia berkeringat seperti itu. Lilia terlihat sangat payah.
     “Dirga, aku mau ngobrol denganmu istirahat nanti. Tantang sesuatu yang penting untuk kamu...,”
     Brakk! Lilia berhenti berbicara.Belum menggumamkan kata-katanya, Lilia pingsan. Untung saja ia jatuh kearah lengan Dirga. Siswa lain yang ada di kelas tersebut langsung panik dan berkerumun di sekitar tempat duduk Lilia dan Dirga.
     Tanpa berpikir panjang Dirga menggotong tubuh Lilia dan berlari ke arah UKS yang ada di pojok koridor seberang. Tanpa ia disadarinya, diary Tanpa ia disadarinya, diary ungu masih berada di genggaman tangan kiri gadis yang sekarang ada didekapannya itu.
     Dirga masuk ke dalam ruangan bernuansa putih itu. Tempat tersebut terlihat sangat tenang dan rapi. Dirga meletakkan Lilia di atas sebuah tempat tidur klinik yang tingginya kurang lebih satu meter itu. Dengan penuh kasih dan sabar ia menunggu Lilia untuk sadarkan diri dan memijat-mijat telapak tangan Lilia yang terasa dingin.
     Beberapa jam kemudian Lilia tersadarkan dari pingsannya. Dirga menyatakan kegelisahannya saat mendapati Lilia jatuh tak sadarkan diri secara tiba-tiba di lengannya.
     “Aku khawatir tadi,Li,”ucap Dirga lembut.
     Lilia tersenyum manis walau terlihat mimik penuh kesakitan di wajanya.
     “Benar Dir? Kenapa harus khawatir? Kan aku belum mati, nanti saja kalau aku mati, baru panik. Hehehe,” kata-kata Lilia begitu menohok perasaan terdalam Dirga. Mengapa ia harus bercanda tentang maut disaat kondisinya seperti ini. Benar-benar saat yang tidak tepat.
     “Ah, jangan berkata begitu. Aku sangat menaruh perhatian padamu karena aku benar-benar menyayangimu lebih dari sekedar sahabat dekat,”jelas Dirga pelan.
     Lilia terbelalak kaget, jantungnya serasa dihujam dari belakang dan mencuat keluar dari tulang rusuknya saat mendengar kata-kata yang baru saja dilontarkan Dirga. Ia merasa ternyata cintanya terespon oleh Dirga. Lilia cinta Dirga, batin Lilia. Sejenak tak ada kata lagi yang terlontar dari mulut kedua orang ini.
     “Mencintai,menyayangiku? Sebenarnya aku juga sama dengan perasaanmu. Namun ini tak mungkin lagi Dirga sayang,”kata Lilia cemas.
     Baru pertama kali ia mengucapkan kata istimewa pada lawan jenisnya.
     Dirga terkejut,
     “Mengapa Lilia? Bukankah kamu dan aku sudah memiliki perasaan yang sama?”tanya Dirga. Mata Lilia tertutup rapat. Bulir air mata keluar di ujung matanya dan mengalir tepat di pipinya. Ia tidak lagi menjawab pertanyaan Dirga itu. Sejenak Dirga menunggu jawaban Lilia dan mulai merasa heran dengan Lilia yang terus diam.
     Beberapa saat kemudian Dirga tersadar akan suatu hal. Ia teringat akan ucapan Lilia sebelumnya. Ia berdiri dan panik. Kenyataan ini terasa amat menghujam hatinya. Lilia pergi dan tak mungkin lagi menjawab sepatah kata pun pertanyaan Dirga. Sehari kemudian jasad Lilia telah diselimuti oleh tanah dingin area pemakaman. Duka muncul diantara orang yang ditinggalkan. Saat keadaan telah tenang, di ruang keluarga sebuah rumah besar yang dulunya ditinggali Lilia, orang tua Lilia menjelaskan semuanya kepada Dirga. Telah lama Lilia mengidap kanker stadium empat yang kronis. Vonis penyakit ini lebih menyedihkan dibanding dengan penyakit yang ia rasa. Namun Lilia tetap berusaha tabah menghadapi hari-harinya dengan senyuman, terutama di depan Dirga, belahan jiwanya. Itulah penjelasan orang tua Lilia.
     Kini baru ingatlah Dirga dengan arti kesedihan yang tersirat di wajah Pak Hasan, supir Lilia saat mengucapkan terima kasih padanya. Ternyata semua orang di keluarga dan pegawainya tahu tentang rahasia besar ini.
     Akhirnya Dirga menjadi anak angkat di keluarga Lilia sekarang. Itulah permintaan Lilia pada keluarga yang ditulisnya di diary ungu kesayangannya. Sekarang buku itu diberikan pada Dirga. Ia menerima buku diary itu dan membalik-balik halaman per halamannya. Ia membaca satu halaman wasiat Lilia.

     'Papa dan mama, angkatlah Dirga sebagai anak kalian nantinya saat aku tiada. Dengan itulah di langit nanti aku bisa memilikinya, walau kami tidak bisa bersatu.'
    
     Kemudian ia terpana dan berhenti di satu halaman yang tertempel foto masa kecil Dirga dan Lilia. Ia meneteskan air mata. Di sebelah kiri foto usang itu tertulis rapi patahan kata,
    
       'I know he is my first and my last love..'




5 comments: