Friday, March 4, 2011

Di Balik Kesusahan Kita

     Sudah hampir saatnya shalat Jumat untuk wilayah Smada dan sekitarnya, namun segerombolan umat yang terdiri dari banyak perempuan dan hanya tiga orang laki-laki ini masih berdiskusi di depan ruang guru. Ada pak Sundawan, anak-anak biologi, aku dan teman matematikaku.
     "Pak Sun, bagaimana ini? Naik apa?" pertanyaan itu berkali-kali melayang di sekitar telinga kami.
     "Berapa orang sih yang belum dapat kendaraan ke Kampus C UNAIR? tanya guru matematikaku ini.
     Anak yang lain menjawab. Aku hanya tersenyum menyandarkan tubuh ke pintu ruang guru oranye itu sembari berpikir. Kasihan sekali ya sekolahku ini, sekolah yang dianggap parlente dan tempat para anak konglomerat ini sekarang terancam oleh pendanaan. Mungkin dulu, saat sekolah kami masih berduit kami tidak perlu berpikir keras untuk mencari angkutan seperti sekarang ini. Pasti ada, dan sekolah akan berbaik hati meminjamkannya. Apalagi untuk kemajuan muridnya yang akan ditatar mengikuti OSN (Olimpiade Sains Nasional) ini. Sekali lagi, demi nama baik sekolah yang terangkat karena prestasi siswanya, sekolah ini pasti denagn senang hati akan membantu.
     Namun, sekarang? Sejak palu diketuk dan sekolah diharuskan gratis 100 persen, Smada loyo. Tak ada lagi acara-acara boombastis yang diselenggarakan. Tak ada mas-mas cleaning service yang biasa membersihkan lingkungan ekolah ini tiap jammya. Bagaimana nasib mas-mas cleaning service tersebut? Mereka terpaksa diberhentikan demi menghemat anggaran sekolah dan pastilah mereka akan terkatung-katung setelah ini. Bingung mencari pekerjaan baru yang mampu menampung keterampilan mereka tersebut. Ironis. Menyedihkan ketika harus mengingat wajah-wajah para pekerja keras yang lugu dan rendah hati tersebut. Tangan-tangan mereka yang terampil membuka gembok kelas pada jam 06.00 pagi tiap harinya. Hingga gerakan sapu dan alat pel yang lincah di lantai koridor-koridor sekolah kami sekarang hilang dan lenyap entah kemana.
     Semua karena keputusan pemerintah yang tiba-tiba itu. Memang terlalu nekat. Tapi menurutku, bagaimana lagi. Indonesia memang sudah kompleks, seperti lingkungan sekolahku ini, SMA Kompleks. Hahahaha. Banyak pendapat pro-kontra yang akan muncul ketika sebuah pertanyaan dan masalah hadir. Itu perbedaan pemikiran tiap anggota masyarakat. Itu wajar. Dan mau tidak mau pemerintah pun harus memutuskan.
Pak Sundawan Argo (Guru Matematika SMA negeri 2 Surabaya)

  I don't know. But exactly for the next time we hope we could break the problem. Then make our country's future turn to be better. Right?
     Pak Sundawan masih nampak gusar. Walaupun senyuman beliau masih mengembang abadi di wajah kharismatiknya, aku merasakan bahwa beliau masih berpikir masalah kendaraan. Pak Sun akhirnya berdiskusi dengan salah seorang di antara kami, Shahira, teman matematikaku.
     "Ya sudah, Pak. Saya ada jemputan mobil kok. Nanti empat orang bisa berangkat bareng saya. Gimana Pak?" ucap gadis blasteran Arab ini. Hira, begitu kami biasa memanggilnya di sekolah. Ia pun sudah penat dengan diskusi tanpa ujung ini. Ditambah lagi dengan kehadiran seekor kucing mungil di atas meja yang berada di dekatnya. Dan Hira semakin merasa terganggu. Hira benci kucing.
     "Oh, begitu. Begini, Ayu, Ika, Oppie, dan satu lagi itu siapa? Oya, Intan ikut kamu semua ya Hira," tukas Pak Sundawan.
     Hira mengangguk. Namun ia makin merasa tak nyaman dengan hujan yang memaksanya minggir untuk berteduh di dekat meja sang kucing tadi.
     Setelah pernyataan dari Hira, beberapa anggota biologi dan matematika yang lain ikut memutuskan. Mereka satu per satu memilih untuk berangkat sendiri-sendiri. Hingga akhirnya tersisa empat anggota yang bersedia naik angkot. Syukurlah. Semua lega.
     Reader, sebelumnya jika boleh dikatakan secara jujur, awalnya aku enggan mengikuti penjaringan OSN ini. Aku sendiri menyadari bahwa otakku tidak secanggih otak anggota OSN lainnya seperti Shahira si Arab, Fika yang mungil atau bahkan Oppie yang berambut ikal. Tetapi semua berubah seketika saat aku menyadari betapa besarnya  kesungguhan guruku, Pak Sundawan yang merangkap sebagai pembina OSN sekolah kami di tengah desakan kurangnya dana di sekolah kami. Pak Sundawan mencari bantuan ke luar sekolah untuk mendapatkan pembimbing bagi kami. Pembimbing yang bersedia membagi ilmunya tentang olimpiade sains yang nantinya membutuhkan perasan-perasan otak kami. Dan akhirnya Pak Sundawan berhasil. Beliau mendapatkan dosen dari UNAIR yang akan menyumbangkan ilmunya pada kami.
    Yak, kegigihan Pak Sundawan inilah yang membuatku bersedia mengikuti jadwal pembinaan yang menurutku berat ini.
     In the end, for Mr Sundawan Argo, maaf ya Pak jika membutuhkan waktu lama dalam proses membujuk saya untuk rajin datang pembinaan. Dan semoga di tahun-tahun mendatang prestasi anggota OSN di Smada semakin baik dan nantinya mampu mengharumkan nama baik our dearest school, SMA Negeri 2 Surabaya. 

_______The End_______
      


No comments:

Post a Comment