Pagi
ini suhu udara terasa sangat dingin menembus dan menusuk pori-pori kulit yang
putih pucat dari gadis manis lima belas tahun itu. Namun dinginnya pagi
dilupakan olehnya, Lilia yang telah tiba di sekolahnya untuk belajar seperti
biasa. Dengan senyumnya yang bak peri itu ia membuka pintu kiri belakang mobil
Honda Jazz birunya.
“Terima kasih Pak Hasan, bapak sudah setia
mengantarkan aku dan Dirga ke sekolah tiap hari,”ucap Lilia kepada pak supirnya
sembari melirik kearah Dirga yang duduk di sampingnya.
Teman laki-laki Lilia ini sudah bisa
dikatakan sebagai sahabat terdekatnya sejak kecil.
Walaupun Lilia adalah anak
tunggal dari sepasang suami istri yang penuh harta, ia tidak pernah memandang dengan
sebelah mata seorang Dirga
yang sudah tak berorangtua dan hanya diasuh oleh paman Dirga, Om Husen yang
berkeadaan pas-pasan. Karena kedekatannya dengan Dirga, teman sekolah Lilia
sering mengartikan mereka sebagai sepasang kekasih. Tak heran, karena keduanya
memiliki penampilan fisik yang nyaris sempurna. “Iya sama-sama Mbak Lilia.
Walaupun mbak juragan saya, mbak tidak pernah semena-mena pada saya sebagai
supir. Sekali lagi terima kasih juga mbak Lilia,” jawab Pak Hasan.
Namun entah mengapa Dirga yang dari tadi
diam membisu kini heran memperhatikan Lilia dan Pak Hasan. Dirga melihat
guratan penuh kesedihan dan perih di wajah 50 tahun Pak Hasan saat melontarkan
kata itu pada Lilia. Sikap Pak Hasan ini sangat kontras dengan Lilia yang dari
tadi tersenyum saja.
“Hei, ayo Dirga! Jangan diam saja. Nanti
pintu gerbang sekolah bakal ditutup kalau kamu keenakan di sini,” kata Lilia
Pandangan
matanya tertuju pada gerbang sekolah bercat abu-abi itu. Lilia menyambar tangan
kiri Dirga dan menyeret Dirga masuk ke area sekolah. Dirga tetap diam seperti
anak yang sedang dituntun ibunya.
Lilia dan Dirga masuk ke ruangan kelas
mereka, kelas X-2 yang berwarna krem itu. Mereka duduk bersebelahan. Saat
pelajaran berlangsung, Dirga memperhatikan Lilia yang sedang menuliskan sesuatu
di buku diary ungunya, namun ia tak mau membaca apa yang ditulis Lilia. Itu
rahasia Lilia, pikirnya dalam hati. Terlintas dalam benak Dirga bagaimana cara
untuk menyatakan rasa sayang yang selama ini telah lama ia pendam pada Lilia.
“Uh, capek Ga,” kelu Lilia yang telah
menutup diary-nya itu.
Lilia terlihat semakin pucat pasi. Keringat
mengucur deras dari dahinya. Aneh. Karena hari ini sangat dingin namun Lilia
berkeringat seperti itu. Lilia terlihat sangat payah.
“Dirga, aku mau ngobrol denganmu istirahat
nanti. Tantang sesuatu yang penting untuk kamu...,”
Brakk! Lilia berhenti berbicara.Belum
menggumamkan kata-katanya, Lilia pingsan. Untung saja ia jatuh kearah lengan
Dirga. Siswa lain yang ada di kelas tersebut langsung panik dan berkerumun di
sekitar tempat duduk Lilia dan Dirga.
Tanpa berpikir panjang Dirga menggotong
tubuh Lilia dan berlari ke arah UKS yang ada di pojok koridor seberang. Tanpa
ia disadarinya, diary Tanpa ia disadarinya, diary ungu masih berada di
genggaman tangan kiri gadis yang sekarang ada didekapannya itu.
Dirga masuk ke dalam ruangan bernuansa
putih itu. Tempat tersebut terlihat sangat tenang dan rapi. Dirga meletakkan
Lilia di atas sebuah tempat tidur klinik yang tingginya kurang lebih satu meter
itu. Dengan penuh kasih dan sabar ia menunggu Lilia untuk sadarkan diri dan
memijat-mijat telapak tangan Lilia yang terasa dingin.
Beberapa jam kemudian Lilia tersadarkan
dari pingsannya. Dirga menyatakan kegelisahannya saat mendapati Lilia jatuh tak
sadarkan diri secara tiba-tiba di lengannya.
“Aku khawatir tadi,Li,”ucap Dirga lembut.
Lilia tersenyum manis walau terlihat mimik
penuh kesakitan di wajanya.
“Benar Dir? Kenapa harus khawatir? Kan aku belum mati, nanti saja kalau aku mati, baru panik. Hehehe,”
kata-kata Lilia begitu menohok perasaan terdalam Dirga. Mengapa ia harus
bercanda tentang maut disaat kondisinya seperti ini. Benar-benar saat yang tidak tepat.
“Ah, jangan berkata begitu. Aku sangat
menaruh perhatian padamu karena aku benar-benar menyayangimu lebih dari sekedar
sahabat dekat,”jelas Dirga pelan.
Lilia terbelalak kaget, jantungnya serasa
dihujam dari belakang dan mencuat keluar dari tulang rusuknya saat mendengar
kata-kata yang baru saja dilontarkan Dirga.
Ia merasa ternyata cintanya terespon oleh Dirga. Lilia cinta Dirga, batin
Lilia. Sejenak tak ada kata lagi yang terlontar dari mulut kedua orang ini.
“Mencintai,menyayangiku? Sebenarnya aku
juga sama dengan perasaanmu. Namun ini tak mungkin lagi Dirga sayang,”kata
Lilia cemas.
Baru pertama kali ia mengucapkan kata
istimewa pada lawan jenisnya.
Dirga terkejut,
“Mengapa Lilia? Bukankah kamu dan aku sudah
memiliki perasaan yang sama?”tanya Dirga. Mata
Lilia tertutup rapat. Bulir air mata keluar di ujung matanya dan mengalir tepat
di pipinya. Ia tidak lagi menjawab pertanyaan Dirga itu. Sejenak Dirga menunggu
jawaban Lilia dan mulai merasa heran dengan Lilia yang terus diam.
Beberapa saat kemudian Dirga tersadar akan
suatu hal. Ia teringat akan ucapan Lilia sebelumnya. Ia berdiri dan panik.
Kenyataan ini terasa amat menghujam hatinya. Lilia pergi dan tak mungkin lagi
menjawab sepatah kata pun pertanyaan Dirga. Sehari kemudian jasad Lilia telah
diselimuti oleh tanah dingin area pemakaman. Duka muncul diantara orang yang
ditinggalkan. Saat keadaan telah tenang, di ruang keluarga sebuah rumah besar
yang dulunya ditinggali Lilia, orang tua Lilia menjelaskan semuanya kepada
Dirga. Telah lama Lilia mengidap kanker stadium empat yang kronis. Vonis
penyakit ini lebih menyedihkan dibanding dengan penyakit yang ia rasa. Namun
Lilia tetap berusaha tabah menghadapi hari-harinya dengan senyuman, terutama di
depan Dirga, belahan jiwanya. Itulah penjelasan orang tua Lilia.
Kini baru ingatlah Dirga dengan arti
kesedihan yang tersirat di wajah Pak Hasan, supir Lilia saat mengucapkan terima
kasih padanya. Ternyata semua orang di keluarga dan pegawainya tahu tentang
rahasia besar ini.
Akhirnya Dirga menjadi anak angkat di
keluarga Lilia sekarang. Itulah permintaan Lilia pada keluarga yang ditulisnya
di diary ungu kesayangannya. Sekarang buku itu diberikan pada Dirga. Ia
menerima buku diary itu dan membalik-balik halaman per halamannya. Ia membaca
satu halaman wasiat Lilia.
'Papa dan
mama, angkatlah Dirga sebagai anak kalian nantinya saat aku tiada. Dengan
itulah di langit nanti aku bisa memilikinya, walau kami tidak bisa bersatu.'
Kemudian ia terpana dan berhenti di satu
halaman yang tertempel foto masa kecil Dirga dan Lilia. Ia meneteskan air mata.
Di sebelah kiri foto usang itu tertulis rapi patahan kata,
'I know he is my first and my last love..'
Kok ndengaren Keren mbak?
ReplyDeleteDapet dari mana?
Karya originalku Fid. :)
ReplyDeletewait,what?
Deleteiya, cerpen pertamaku ini Fid :)
ReplyDeleteada yang lain?
ReplyDelete