Sunday, December 27, 2015

Mengalahkan Kenangan Masa Lalu

Agak kikuk rasanya ketika mengetahui parkiran motor rumah sakit ini sudah berpindah ke sisi belakang gedung, dulunya ada di depan. Pikiranku menerawang ke belakang, ketika menyerahkan selembar karcis kuning lusuh yang telah lama bersarang di dompetku ke petugas parkir. Si bapak petugas parkir menanyaiku, "Loh ada apa mbak, kok nangis? Abis dimarahi siapa?". Ah bapak tukang parkir ini tidak memahami rasa perih kehilangan, batinku saat itu.
-------------------------------


     Aku menghentikan lamunanku di tempat parkir tersebut. Siang ini langit memang mendung, seakan mencoba mempengaruhi pikiran manusia yang bernaung di bawahnya agar terbawa perasaan. Namun keadaan tersebut tidak mempengaruhi aku dan ibu untuk menjenguk adik sepupu. Hari ini dia akan lepas pen! Yeay, peristiwa yang dinantikan oleh penderita patah tulang di penghujung rangkaian pengobatan. Kami seharusnya senang mendengar berita tersebut.
     Aku menggenggam tangan ibu sembari berjalan menyusuri anak tangga menuju lantai dua. Kubelai tangan dalam genggamanku dengan maksud memberikan ketenangan dan menghapus rasa pilu. Sudah lama rasanya kami tidak menyusuri anak tangga ini berkali-kali. Kupandangi raut wajah ibu di samping kananku, memastikan ibu masih baik-baik saja. 
     Sesampainya di lantai dua, kami menuju deretan kamar dengan papan lampu neon bertuliskan "Dahlia". Blok Dahlia memiliki dua jalan yang memungkinkan pengunjung untuk mengakses kamar-kamar di blok tersebut, yaitu koridor dalam di sebelah kiri dan koridor kanan. Ini membuat setiap kamar pasien memiliki dua pintu. Satu pintu terhubung ke koridor dalam, dan satu pintu lainnya terhubung ke koridor kanan. Ketakutanku akan kenangan masa lalu di koridor kiri membawa kakiku melangkah ke koridor kanan. Tiga pintu kamar pasien terlewati, akhirnya kami sampai di kamar dimana adik sepupuku di rawat, kamar 204. Aku menyapa adik sepupuku dan menyerahkan sekresek snack dan minuman ringan untuknya.
     "Aku belum lepas pen, Budhe. Hari ini dokternya libur. Besok baru dioperasi. Kamar pakde dulu ada di dekat sini kan, Budhe? Dimana ya?" tanya sepupuku. Ibu terdiam memandangiku, mencari jawaban di sela-sela hidungku. Kulempar senyuman terbaikku, mempersilahkan ibu untuk memberikan pernyataannya. Namun ibu masih tidak mampu menjawab pertanyaan mudah itu. Yasudah, aku jawab seakan pertanyaan tersebut adalah pertanyaan babak rebutan dalam cerdas cermat, "Iya, Dek. Kamu tinggal keluar kamar pakai pintu kiri. Kamar pakde tepat berada di depan kamar ini." Ibu lega. Beliau mengalihkan suasana, menanyai balik sepupuku: apa kabar, sudah enakan belum, siapa saja yang sudah menjenguk, dan pertanyaan formal lain dalam menjenguk pasien.
     Pendingin ruangan di kamar tersebut membuat tubuhku yang kampungan kedinginan, ora betah adem. Aku memberanikan diri keluar menuju koridor dalam, koridor yang aku takuti hingga kini.
     Di depanku berdiri kokoh pintu kamar bertuliskan 213 terbuka, menampakkan sebagian isi kamar bercat kuning yang standar, mirip dengan kamar-kamar lainnya. Aku menengok kamar tersebut lebih dalam, terlihat bu dokter sedang menyuntikkan obat penenang ke lengan kiri bapak. Sudah empat kali dokter menyuntikkan cairan tersebut, namun bapak tetap diam seakan tertidur dengan pulasnya. Dua tenaga medis yang mendampingi bu dokter bergegas memberikan nafas buatan dan CPR dengan menekan dada bapak berkali-kali guna mengembalikan henti nafas bapak. Namun tetap, bapak tidak memberikan respon sedikit pun. Ruangan hening seketika, hanya tangis histeris yang diputar sebagai lagu penuh kepedihan. Bu dokter memeluk ibuku dan membisikkan kalimat-kalimat bernuansa keikhlasan. Sementara itu tenaga medis melepaskan alat bantu pernafasan dan tiga selang infus di tangan bapak. Bapak sudah tidak memerlukannya. Sejenak aku berpikir mungkin selama ini alat-alat tersebut hanya menyiksa tubuh bapak yang kian melemah.
     Aku tidak kuat. Dadaku perih. Kupejamkan kedua mataku, mencoba menghentikan lamunan sembari menahan air mata agar tidak jatuh ke pipi. Pikiranku kumat, aku mengingat kembali masa-masa pedih tersebut. Setelah merasa lebih tenang, aku memutuskan untuk kembali ke kamar dimana adik sepupuku dan ibu sedang berbincang-bincang. Kami pamit pulang setelah tiga puluh menit lamanya berada di ruangan tersebut.
     Lagi-lagi aku memandu ibu untuk pulang lewat koridor kanan. Aku hendak mengakhiri rasa penasaranku dengan bertanya pada ibu, "Bu, gimana perasaannya hari ini untuk pertama kalinya kita datang kembali ke rumah sakit ini?" Sudah satu tahun, satu bulan dan empat belas hari kami mencoba mengubur sejarah pilu tersebut bersama raga bapak. Ibu tersenyum, "Ya mungkin seperti yang kamu rasakan. Tapi mau bagaimana lagi, masa kita harus menghindari tempat ini terus-terusan? Anggap saja tempat ini adalah tempat bersejarah bagi kita. Dan kita tidak akan pernah melupakan sejarah untuk melangkah ke masa mendatang, kan?" Aku tidak menjawab pertanyaan retoris tersebut sekaligus tidak melanjutkan perbincangan. Kami berdua keluar dari gedung rumah sakit, meninggalkan semua kenangan agar tetap berada di tempatnya.

1 comment:

  1. *peluk dari Sidoarjo*
    semangat sizzy, Insyaallah bapak sudah tenang di sana.. ikhlas yo nduk.

    ReplyDelete